Tetes Air Mata Terakhir Di Pangkuanmu Saat Itu (Kepergian Ibuku)

| Labels:, | |

Pagi ini matahari seakan muncul lebih awal. Warnanya ke emas-emasan dihiasi awan-awan halus berwarna orange tua, ada sebagian awan yang terlihat seperti sisik kehitam-hitaman. Ditemani nyanyian burung dan dedaunan yang bergoyang ditiup angin pagi, aku duduk dibalai bambu memandangi mentari yang bersinar dari ufuk timur. Aku hanyut terbawa indahnya sang mentari pagi tapi aku tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahku pagi itu.

"Aa, airnya sudah matang belum?" teriak ibuku yang terbaring lemas dikamar yang terbuat dari bilik bambu. Sudah sebulan ibuku menderita sakit. Aku tak pernah tahu ibuku sakit apa, la tidak pernah dibawa ke dokter dengan alasan ekonomi dan jauhnya tempat dimana dokter prakter. Maklum rumahku jauh dari keramaian atau mungkin lebih pas disebut 'tengah hutan' karna jaraknya yang jauh ke tempat keramaian kota. Untuk sampai ke jalan raya saja kami harus melewati hutan dan naik turun bukit. Di kampung kami banyak sawah-sawah dan perkebunan kelapa. Ciwadung nama kampungku. Asri, indah, nyaman dan aman.

"Belum bu" sahutku sambil lari mengambil teko aluminium yang tergantung di atas dinding kayu berbilik bambu. Aku lupa kalau ibuku tadi menyuruhku memasak air untuk membuat teh untuknya.
Ayahku hari ini sedang ke sawah, dia biasanya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Di desaku tiap pagi selalu ramai oleh sibuknya para orang tua yang membawa berbagai perlengkapan tani menuju sawah dan kebun. Tak jarang, aku juga sering ikut bersama ayah dan ibuku ke sawah. Aku masih teringat saat aku menggagai1 jerami di sawah, banyak belut dan ikan saat jerami diangkat ke galengan 2, aku paling senang ketika ikan-ikan itu muncul kepermukaan atau jika tidak muncul airnya kami bedol. Selesai menggagai, kami membakar hasil dari gagaian tadi dan tak lupa ibuku menyiapkan sambal cobek sealakadarnya. Rasanya nikmat sekali ditambah dengan pemandangan sawah yang luas.

Jam 07.30, hari ini aku tidak masuk sekolah karena harus menjaga ibuku yang sedang sakit.
"Aa... jika seandainya nanti ibu meninggal jaga diri kamu baik-baik" ucap ibuku diiringi tangis kecil. Pilu.

"Dan jangan sampai kamu putus sekolah, jika memang harus putus sekolah jangan sampai kamu meninggalkan Pondok Pesantren. Ibu mau kamu menjadi anak yang soleh, berbakti pada kedua orang tua..." tambahnya lagi sembari mengelus-elus rambutku. Ia tak sanggup meneruskan kata-katanya. 
Aku tidur dipangkuannya. Tangannya erat memeluk-ku seolah ia merasa hari itu adalah hari terakhirnya bersamaku. Butir-butir air matanya menetas dan mengalir deras melalui pelipisnya, perlahan menelusuri pipi keriput dan jatuh ke pipiku. Hatiku berdesir dingin saat air mata itu jatuh di pipiku. Ibuku menangis seolah hari itu adalah hari terakhir bersamaku, anak terakhir yang paling disayang.
***

Dua Minggu sudah berlalu. Ibuku masih terbaring lemas, sudah berbagai macam obat la minum namun penyakitnya tak kunjung sembuh. Hampir setiap hari rumahku ramai dikunjungi orang-orang yang menjenguk terutama ibu-ibu pengajian. Aku dan ayahku terkadang repot membereskan piring dan gelas-gelas bekas menjamu para tamu yang menjenguk. Maklum kami hanya tinggal bertiga. Saudaraku yang lain sudah berkeluarga semua, mereka sibuk dengan keluarganya masing-masing.

Aku masih teringat dengan sikap kakakku. Asti, dia pernah berkunjung ke rumahku namun itu juga karena ada undangan pernikahan tetanggaku. Dia hanya mampir sebentar, setelah itu dia pergi lagi ke Jakarta. Dia sama sekali tak perduli dengan kami. Suaminya Ade membuatnya demikian, mereka bahkan jarang berkunjung meski ibu atau ayahku sedang sakit.

Rumahku yang tak bagus lagi malam ini banyak dikunjungi orang. Mulai dari tetangga hingga orang dari desa sebrang. Mereka terlihat sedih bercampur pilu saat aku memasuki rumahku. Aku baru pulang mengaji dari Pondok Pesantren yang juga tak jauh dari rumahku. Setiba aku dirumah, aku kaget saat saudaraku merangkulku dan mengatakan bahwa ibuku sedang Naza’3. Aku berlari kecil menuju ibuku dan duduk lemas di dekatnya, aku hanya bisa menangis sambil memegang tanggannya yang sudah mulai dingin...
Ibuku meninggalkan aku untuk selamanya "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un"...

===================================================
Kamus :
(1)Gagai (bahasa sunda) mengangkat jerami yang sengaja di busukan ke pematang sawah atau galengan.
(2) Galengan = Pematang sawah
(3)Naza’ = Sakaratul maut